Rabu, 02 April 2008

Sony Sugema College (SSC) –janji adalah janji

Sony Sugema College (SSC) –janji adalah janji
oleh DIDI RASDI

Di sini saya akan bercerita tentang kekecewaan kami yang telah bekerja sama dengan salah satu lembaga bimbingan belajar terkemuka di wilayah jawa barat dan sekitarnya. Kami adalah Himpunan Mahasiswa Majalengka (HIMAKA) Purwokerto, dan lembaga bimbingan belajar yang bekerja sama dengan kami adalah Sony Sugema College (SSC) Bandung.

Ada sebuah rasa tertekan jika kami tidak mengeluarkan isi hati kami yang telah dikhianati. Saya rasa semestinya surat ini tidak tercetak, namun saya yakin bahwa dengan begini, suara kami akan di dengar.mohon maaf sebelumnya untuk pihak SSC Bandung, karena mungkin pula dengan begini semuanya akan jelas dan kita sama-sama memperbaiki yang masih kurang dari masing-masing dari kita.

Ceritanya berawal dari kerja sama yang terjalin antara HIMAKA Purwokerto dan SSC Bandung. HIMAKA Purwokerto akan melaksanakan sebuah kegiatan yang memerlukan bantuan dari bimbingan belajar, dan kami percaya bahwa SSC dapat membantu kami. Acara tersebut bertemakan TOP SECRET atau Try Out HIMAKA Purwokerto Succes and Creative. Sebuah acara uji coba SPMB yang ditujukan bagi semua siswa di kabupaten Majalengka. Secara kasat mata acara yang dilaksanakan pada tanggal 24 Februari 2008 di SMAN 1 Majalengka dapat dikatakan berhasil, namun ada beberapa hal yang mengganjal yang terjadi terutama yang berkaitan dengan kerja sama antara kami dan SSC Bandung.

Dengan SSC Bandung kami bekerja sama dalam hal pengadaan soal sebanyak 500 buah, ditambah dengan Lembar Jawaban Tertulis (LJK), hasil TO yang dikirim tidak akan lama, dan pembahasan akan jawaban dari pihak SSC yang langsung terjun ke lapangan.
Untuk yang pertama dan kedua yaitu Soal dan LJK telah kami terima 2 hari menjelang pelaksanaan, namun yang ketiga yaitu pembahasan langsung dari pihak SSC tidak kami dapatkan. Pihak SSC tidak datang untuk pembahasan. Secara otomatis, kami kelimpungan. Disamping karena telah ada janji dengan siswa akan ada pembahasan, namun pihak SSC tidak datang. Dan disinilah kekecewaan kami yang terbesar. Janji dari pihak SSC tidak dipenuhi. Padahal kami telah memenuhi kewajiban kami yaitu membayar uang sesuai dengan kesepakatan.

Bukan hanya itu saja, hasil dari kegiatan tersebut yang dijanjikan hanya beberapa hari, sampai seminggu belum dipenuhi. Sontak para siswa menunggu hasil yang telah mereka kerjakan. Kami tidak bisa berbuat apa-apa untuk hal tersebut karena baru pada sekitar tanggal 3 maret 2008, konfirmasi dari pihak SSC akan melakuan transfer ke alamat email kami. Sebuah kekecewaan yang besar, sementara kami bandingkan dengan acara serupa yang dilaksanakan tahun kemarin dengan pihak bimbingan belajar yang lain, semuanya tidak ada masalah. Baru kali pertama ini kami kecewa terhadap sebuah kerja sama.

Mungkin ini hanya persoalan kecil, namun bagi kami pengingkaran terhadap janji itu adalah kesalahan besar karena dampak yang ditimbulkan sangat besar, menyangkut nama baik kami dimata siswa dan sekolah yang ada di kabupaten Majalengka. Sekali lagi kami mohon maaf atas semua yang telah kami rasakan yaitu kekecewan, mungkin ke depan kita dapat melakukan kerja sama yang jauh lebih baik. Terima kasih

Didi Rasdi
DPO HIMAKA Purwokerto
lima_bahasa@yahoo.co.id
Jl. Cendrawasih Gg. Kutilang No.3 Grendeng Purwokerto Utara 53122

Ketika Pengawas Tak Lagi Keras

Ketika Pengawas Tak Lagi Keras
( Tragedi Pencoreng Jiwa Jaksa Agung Penjaga Negeri )
Oleh: Didi Rasdi

Sungguh sebuah ironi memang ketika sesuatu yang kita percaya tak lagi dapat dipercaya. Mungkin tak ada lagi kebenaran yang akan kita perjuangkan, karena lembaga peradilan telah buta oleh sebuah masakan. Hal yang sungguh tidak dapat kita mengerti namun terjadi kini. Seseorang yang kita percaya untuk bertindak malah bertindak kearah negative, sebuah kezhaliman. Dimana kini sebuah perjuangan diperjuangkan? Hanya kekecewaan.

Pagi tadi (3/3/08) sebuah cerita beredar. Dan sangat mengganggu bagi kita semua sebagai warga masyarakat yang tentunya tahu akan hukum. Tapi saya kira orang yang tidak tahu hukum pun akan sinis mendengar berita yang begitu mengagetkan tersebut. Berita ditangkapnya ketua penyidik dana Bantuan Liquiditas Bank Indonesia (BLBI) Urip Tri Gunawan di Jakarta. Sesuatu yang agaknya kurang pas untuk untuk di dengar dan dirasakan. Apalagi Beliau yang notabene adalah jaksa agung yang diberikan sebuah tanggung jawab yang sangat besar.

Padahal akhir-akhir ini marak diberbagai media bahwa aliran dana BLBI harus segera diselesaikan agar negara tidak menanggung kesalahan tersebut. Uang yang dipakai kan juga uang rakyat. Jaksa agung Urip Tri Gunawan disinyalir mendapatkan dana sebesar Rp.6,1 Milyar. Sebuah nominal yang menggiurkan memang untuk seorang pejabat tinggi sekalipun. Dalam sebuah berita sempat diulas bahwa kejadian tersebut adalah sebab dari gaji yang kurang bagi pejabat. Apakah itu semua benar? Padahal dalam sebuah teori dikatakan bahwa uang hanyalah salah satu faktor yang dapat memotivasi seseorang untuk bergerak. Mungkin, di Indonesia uang adalah poin terpenting untuk bergerak.

Saya sempat bertanya dalam hati. Berapa sih gaji seorang jaksa agung tindak pidana khusus? Apakah masih kurang untuk makan sehari tiga kali. Ataukan masih kurang untuk bayar uang SPP anak di sekolah dan universitas? Hanya jaksa agung yang mungkin dapat memberikan komentarnya. Dana 6,1 Milyar kalau untuk membayar hutang negara ke lembaga donor mungkin akan sedikit membantu.

Untuk pertama kalinya-insya Allah sekali ini saja-semua jaksa diberikan sebuah pedang yang menusuk sampai ke ulu hati. Sesuatu yang sangat berat. Sebuah cobaan yang sangat luar biasa dasyat. Mencoreng nama besar jaksa agung terutama tindak pidana khusus.

Saya teringat dalam sebuah novel karya Brown. Dalam novel tersebut menceritakan sebuah ungkapan khas. Ketika kita diawasi oleh seorang pengawas, lalu siapa yang mengawasi pengawas tersebut? Nampaknya semua elemen harus di awasi seperti anak kecil agar tidak berbuat macam-macam. Agar patuh akan hukum yang dibuatnya sendiri. Agar rakyat kembali percaya ditengah ketidakpercayaan rakyat pada pemerintah.

Agaknya korupsi memang tidak pernah pandang bulu. Orang yang diberikan tugas menyelidiki pun tidak lepas dari korupsi. Korupsi memang telah mendarah daging di Indonesia. Kapankah pengawas bisa keras? Mungkin lain kali.


Atas nama bangsa yang tengah berperang mengatas namakan bangsa,
Kaki gunung Slamet,
4 Maret 2008
Didi Rasdi
.

Lapindo, Masyarakat Muak Denganmu Kini!!

Atraksi yang hebat di tahun 2006 silam. Ledakan alam nan menjadikan Indonesia gempar. Tak heran bahwa Indonesia waktu itu telah kehilangan berbagai keperawanan yang ada di alam. Yaps. Setelah bencana gempa bumi yang terjadi di Yogya tahun 2005 dan Tsunami Aceh tahun yang sama, kini tinggal Lapindo yang belum ada akhirnya. Lapindo adalah sebuah luapan lumpur alam yang berada di perut bumi yang entah itu sengaja atau tidak keluar menyumbul ke permukaan. Kini telah hampir 21 bulan semenjak kemunculannya, namun belum ada hasil yang maksimal bagi penanganan yang dilakukan.

Untuk penanganan luapan tersebut, pemerintah menyerahkan kekuasaan kepada sebuah lembaga penanganan lumpur lapindo (BPLS). Namun, hasil yang diberikan belum banyak mengingat permasalahanpun begiru besar. Masalah lumpur ini sebetulnmya bukan hanya datang dari lembaga bentukan pemerintah tersebut tapi juga pada ganti rugi dan kesejahteraan rakyat yang di tumpang tindihkan baik itu oleh Lapindo selaku pengebor dan pemerintah.

Yang lebih bisa kita maklumi adalah kinerja badan penanganan lumpur lapindo karena telah melakukan yang terbaik diantaranya membuat bendungan agar meminimalisir dampak buruk yang akan terjadi. Namun, sepertinya kita tidak dapat mentorerir apa yang telah dilakukan PT Lapindo Brantas kepada masyarakat luas yang menyebabkan bencana ini terjadi.

Hal tersebut yang tidak sepantasnya kita maafkan, bencana telah terjadi dan apa reaksi dari Lapindo kini? Sebuah pengalihan pertanggungjawaban. Bangsat!! Hingga kini dampak yang ditimbulkan oleh Lapindo sangat besar bagi masyarakat. Banyak penduduk yang kehilangan tempat untuk berteduh bahkan kehilangan mata pencaharian mereka. Dimana lapindo bergerak? Hanya secuil yang ia lakukan. Setelah peta dampak luapan lumpur yang dituangkan dalam Perpres No. 14/2007, dimana korban yang diberikan tanggungan uang hanyalah desa yang tergenang pada tahun 2007. lalu muncul sebuah persoalan kini, dimana luapan semakin banyak dan hampir menenggelamkan desa yang lain, dan desa lain yang akan menunggu untuk tenggelam.

Peta perluasan dampak lumpur Lapindo harus diselesaikan. Karena hal tersebut akan membantu korban yang lain. Peta yang baru akan mencangkup tiga desa yang saat ini terkena dampak lumpur. Tiga desa tersebut adalah Mindi, Kedungcangkring, dan Besuki. Apakah semuanya dibantu langsung oleh lapindo Brantas? Ternyata kenyatannya tidak. Semua ganti rugi yang diberikan adalah milik negara, milik uang rakyat.

Dimana lapindo kini? Yang katanya akan bertanggung jawab terhadap kondisi yang hancur berantakan. Mana sebuah tanggapan postif? Sementara rakyat memohon haknya, Lapindo mulai lari dari masalah. Mungkin benar bahwa pemerintah kita terlalu baik kepada para konglomerat, sementara bagi rakyat miskin baik itu terdengar bull shit!!pernyataan kini yang harusnya muncul adalah rakyat telah muak denganmu, Lapindo Brantas!!!

Saya yakin tulisan ini sangat keras terutama bagi Lapindo. Tapi saya berhak untuk bertindak setidaknya untuk sebuah alasan. Sebuah perbuatan yang riil. Tanda tanya akan muncul kemudian, dimana kita para rakyat memegang peranan? Saya rasa hanya diam. Terima kasih Tuhan, doaku untuk para orang tua yang telah rela berbagi tempat tidur dengan orang tua lain, untuk para Ibu yang rela tidak makan untuk anaknya, untuk bapak yang rela berjuang meskipun tanggapan yang disampaikan tidak terdengar sampai atasan, untuk para anak-anak yang telah kehilangan dunia yang indah, dunia hiburan dan pendidikan. Terutama untuk para pejabat yang mungkin sedang kebanjiran order-an. Semoga penderitaan ini bermanfaat.


Kaki gunung Slamet,
4 Maret 2008
Didi Rasdi

Sebuah kado pemikiran untuk KPPI

Pendahuluan

Suatu ketika seorang Bapak setengah baya dari pelosok desa datang ke ibu kota kecamatan untuk mengurus KTP yang akan digunakan untuk mendaftar haji. Tapi, apa yang ia dapatkan? Ia harus sabar menunggu di kantor kecamatan sejak jam delapan hingga jam sepuluh pagi, karena orang yang terbisaa menangani urusan tersebut belum datang. Detik demi detik ia “istiqamah” menanti, akhirnya penantiannya berakhir, seorang datang kepadanya dan memberitahukan bahwa orang yang bisaa menangani pembuatan KTP hari itu berhalangan hadir. Besok pagi, ia harus datang lagi. “this is a key sentences” ujar Bapak itu dalam hati.
Indiahono, dalam Reformasi Birokrasi Amplop: mungkinkan?

Sebuah bangsa pasti berkembang, baik dalam hal intern sebuah bangsa maupun berhubungan dengan kondisi ekstern bangsa tersebut. Perkembangan sebuah bangsa pun dialami oleh bangsa yang telah 62 tahun merdeka, Indonesia. Indonesia mengalami pasang surut perkembangan dan yang paling mendasar adalah setelah jatuhnya sebuah peradaban tak beradab bernama orde baru. Lahirnya orde reformasi setelah orde baru kontan membuat bangsa yang tadinya pasif untuk cenderung aktif dalam memperbaiki apa-apa yang salah dan kurang baik. Salah satu hal sentral yang dirubah adalah pada sistem pemerintahan.
Sistem pemerintahan yang dianut oleh orde baru adalah lebih bersifat sentralistik dimana kendali pusat atau control center berada pada pusat pemerintahan yaitu Jakarta. Dengan kondisi demikian adanya sebuah keterkengkangan dari daerah untuk dapat berinteraksi sendiri mengatur daerahnya. Akhirnya orde reformasi dapat merubah hal tersebut dengan ditandainya Undang-Undang No. 22 tahun 1999. Sistem yang semula sentralistik kemudian berubah menajdi desentralisasi. Mulai Januari 2001, melalui UU No.22 dan 25 tahun 1999 mengubah dirinya menjadi negara yang desentralis, yang memberikan kewenangan yang besar kepada daerah/kota serta provinsi untuk mengelola kebutuhan dan kepentingan mereka (Samodra Wibawa,2006).
Desentralisasi atau orang lebih mengenal otonomi daerah menurut Rondinelli dan Cheema (1983) adalah perpindahan kewenangan atau pembagian kekuasaan dalam perencanaan pemerintah serta manajemen dan pengambilan keputusan dari tingkat nasional ke tingkat daerah. Dengan demikian adanya pembagian sebagian urusan dari pusat ke daerah. Namun bukan secara mutlak karena urusan yang menyangkut masalah bidang politik luar negeri, pertahanan keamanan, peradilan,moneter dan fiskal, agama, serta kewenangan bidang lain diserahkan kepada pusat (Deputi Bidang Polhankam Bappenas).
Dengan diberlakukannya UU No.22 tahun 1999 tidak serta merta berdampak positif, namun juga berdampak negatif sehingga dibuatlah peraturan yang baru yaitu UU No.32 tahun 2004 tentang otonomi daerah. Peraturan yang baru ini mencangkup hal-hal yang luas sekali tentang daerah. Tidak terkecuali hal-hal yang berhubungan dengan pelayanan publik. Hal tersebut dikarenakan tugas dari pemerintah adalah melayani kepentingan rakyat. Bukan hanya semata-mata adalah abdi dalem dari sang presiden seperti jaman orde baru.
Pelayanan publik sendiri didefinisikan secara teoritis menurut Dwiyanto (2005 (ed), 2005: 141-145) adalah sebagai serangkaian aktivitas yang dilakukan oleh birokrasi publik untuk memenuhi kebutuhan warga pengguna. Pengguna atau pelanggan yang dimaksud menurutnya di sini adalah warga negara yang membutuhkan pelayanan publik, seperti dalam pembuatan Kartu Tanda Penduduk (KTP), Izin Mendirikan Bangunan (IMB) dan sebagainya.
Dengan pengertian tersebut telah jelas bahwa pemerintah disamping mengatur urusan yang berhubungan dengan ekonomi, harus pula mementingkan pelayanan publik. Pelayanan publik adalah jembatan antara birokrasi dan warga negaranya. Namun tidak seperti itu keadaan yang sebenarnya terjadi dilapangan dimana pelayanan yang diberikan tidak berpihak pada publik melainkan pada birokrasi. Aparat birokrasi memang sangat diharapkan memiliki jiwa pengabdian dan pelayanan kepada masyarakat. Dan yang diandalkan mampu mengubah citra "minta dilayani", menjadi "melayani" (Deddy Mulyadi,2007) . Yang terjadi dilapangan kita sering mendengar istilah birokrasi di Indonesia yang berbelit-beli, lama, dan dengan proses yang panjang. Sebagai contoh pelayanan yang diberikan oleh BKCKB kabupaten Banyumas tentang pembuatan Kartu Tanda Penduduk (KTP). Salah seorang warga mengakui bahwa untuk membuat KTP beliau menunggu sampai 3 bulan (Nizar,dkk, tahun 2006). Sehingga patutlah kita sebut bahwa birokrasi masih minta dilayani ketimbang melayani.
Pelayanan KTP saja memakan waktu sampai 3 bulan di Banyumas. Bagaimana dengan pelayanan yang diberikan pada sektor lain? Sektor investasi yang merupakan pilar bupati baru dalam membangun pemerintahan apakah aparat telah siap dalam menghadapi berbagai bentuk investor terutama yang berkaitan dengan pelayanan sektor investasi di Banyumas? Mengingat pada tahun 2007 saja Banyumas masuk dalam kategori daerah yang pro terhadap investasi (Sindo,30 Juni 2007).
Bukan hanya itu, banyumas adalah sebuah daerah yang menerapkan sistem perizinan satu atap yang berujung pada pembentukan Kantor Palayanan Perizinan dan Investasi (KPPI) pada tanggal 17 desember 2002 dengan dikeluarkannya Perda Nomor. 10 tahun 2002. Pada tahun 2006 Banyumas melalui investasinya telah mencatat kenaikan Rp181,124 miliar lebih. ”Jumlah ini mengalami kenaikan sebesar 74,7% dibandingkan tahun 2005,”katanya. Sedang dilihat dari jumlah pengusaha, juga mengalami peningkatan. Tercatat pada 2006 mengalami kenaikan 56,18% atau terdapat 380 perusahaan. Surat izin yang dikeluarkan juga bertambah menjadi 3.128 buah atau naik 88,43% (Sindo, 30 Juni 2007). Dengan adanya hal tersebut apakah sudah benar bahwa pelayanan sektor investasi telah efektif diterapkan di Banyumas? Lalu seperti apakah Alternatif yang bisa dilakukan untuk meningkatkan pelayanan publik terutama sektor investasi di Banyumas?






Pembahasan

”Waktu itu saya mengurus IMB ke dinas tata kota. Pas di sana, saya bilang sama stafnya supaya IMB saya diberesin. Pokoknya kalau masalah duit tinggal bilang aja berapa. Sore-sore si petugas datang ke rumah, katanya habisnya Rp 250.000,00. besok paginya saya cek ke kantor pemda, pengen tahu berapa sebenarnya habisnya. Kata orang di sana sih biaya resminya Cuma Rp 155.000,00. makanya pas si staf itu datang lagi ke rumah, saya kasih aja Rp.205.000,00. itu sudah termasuk uang transfor Rp 50.000,00. pertamanya sih petugas sempak nolak, tapi terakhirnya mau juga. Yah, saya mau ngomong apa lagi , memang gitu koq kalau urusannya mau lancar”.
Agus Dwiyanto,dkk dalam Reformasi birokrasi publik

Pelayanan publik diibaratkan sebagai sebuah proses, dimana ada orang yang dilayani, melayani, dan jenis dari pelayanan yang diberikan. Sehingga kiranya pelayanan publik memuat hal-hal yang subtansial yang berbeda dengan pelayanan yang diberikan oleh swasta. Pelayanan publik adalah pelayanan yang diberikan oleh pemerintah dalam rangka memenuhi segala kebutuhan masyarakat, sehingga dapat dibedakan dengan pelayanan yang dilakukan oleh swasta (Ratminto, 2006).
Sebagai contoh adalah pembuatan Surat Izin Mengemudi (SIM) yang diberikan oleh pihak kepolisian dan dimonopoli oleh satu pihak. SIM tidak boleh dikeluarkan oleh lembaga lain termasuk swasta. Sehingga pelayanan yang seperti itu dengan ciri dimonopoli oleh pemerintah disebut pelayanan publik.
Namun, dalam perjalanannya ternyata pelayanan publik menemui berbagai macam rintangan yang menghadang. Salah satunya adalah paradigma birokrasi yang cenderung untuk minta dilayani ketimbang melayani. Hal tersebut mengakibatkan berbagai persoalan (Singgih Wiranto,2006) seperti berbelit-belit, tidak efektif dan efisien, sulit dipahami, sulit dilaksanakan, tidak akurat, tidak transparan, tidak adil, birokratis, tidak profesional, tidak akuntabel, keterbatasan teknologi, keterbatasan informasi, kurangnya kepastian hukum, KKN, biaya tinggi, polarisasi politis, sentralistik, tidak adanya standar baku dan lemahnya kontrol masyarakat. Sedangkan telah terjadi pergeseran paradigma pelayanan publik dimana rakyat atau warga Negara adalah focus dari pelayanan.
Pelayanan publik sendiri terdiri dari berbagai bentuk pelayanan yang diberikan oleh Negara. Pelayanan publik dapat berupa pelayanan di bidang barang dan jasa (Ratminto,2006). Pelayanan dibidang jasa seperti penyediaan bahan baker minyak yang dilakukan oleh Pertamina, dan beras yang diurus oleh Badan Usaha Logistik (BULOG). Sedangkan dalam porsi jasa dapat berupa jasa perizinan dan investasi yang sekarang ini sedang marak untuk dikaji dan diperbincangkan oleh berbagai kalangan, baik itu akademisi maupun praktisi.
Kenapa investasi bisa semakin marak? Mengingat Indonesia adalah Negara kaya namun kurang mendapatkan tempat dihati para investor. Hal tersebut terbukti dengan peringkat Indonesia yang masih diatas seratus dalam kategori pro investasi karena proses yang panjang. Lihat tabel 1.
Tabel 1 Peringkat Negara yang mudah untuk dimasuki investor

No Negara Peringkat
1 Selandia Baru 1
2 Singapura 2
3 AS 3
4 Hongkong 7
5 Jepang 10
6 Thailand 20
7 Malaysia 21
8 RRC 91
9 Vietnam 99
10 Filipina 113
11 Indonesia 115
Sumber: Jawa Pos, 3 Maret 2006
Dari data diperoleh sebuah gambaran investasi Indonesia yang masih jauh dari kategori baik. Dalam hal investasi kita tertinggal jauh dengan Vietnam-sebuah Negara yang baru melek dari penjajah. Bahkan dengan tetangga Negara kita sendiri yaitu Malaysia dan Singapura. Hal tersebut dikarenakan perizinan kita yang lama, proses yang lama, berbelit-belit dan mahal. Bandingkan dengan pelayanan perizinan yang diberikan oleh pemerintahan Thailand. Lihat tabel 2.
Tabel 2 Perandingan Prosedur dan waktu pengurusan investasi antara Indonesia dan Thailand

No. Deskripsi Indonesia Thailand
1. Izin bisnis baru 12 prosedur/97 hari
19 prosedur/224 hari
52 prosedur/576 hari
10 prosedur/30 hari
34 prosedur/570 har
Pengurusan lisensi
Pembayaran pajak
Dokumen impor
Penegakkan kontrak
2.
3.
4.
5. 8 prosedur/33 hari
9 prosedur/127 hari
46 prosedur/104 hari
12 prosedur/22 hari
26 prosedur/425 hari
Sumber: Bank dunia dalam Nahadi dan Djoko
Dengan demikian pantaslah jika Indonesia tertinggal oleh negara-negara berkembang yang ada di wilayah Asia Tenggara. Hal tersebut berdampak pada iklim investasi di daerah dimana pelayanan yang diberikan masih jauh dari harapan. Sebagai contoh adalah Banyumas. Salah satu wilayah yang pro investasi. Di bawah arahan Kantor Pelayanan Perizinan dan Investasi (KPPI) wilayah Banyumas masuk dalam kategori daerah yang pro terhadap investasi, terbukti dengan masuknya Banyumas menjadi 10 besar daerah yang pro investasi. KPPI sendiri terbentuk karena dikeluarkannya Perda No.10 tahun 2002. Dengan tujuan mewujudkan pelayanan perizinan dan investasi yang efektif, efisien, wajar dan rasional sehingga dapat diwujudkan pelayanan umum yang dilakukan secara terpadu pada satu tempat/lokasi untuk kepentingan pengurusan beberapa perizinan.
Dengan diberlakukannya pelayanan satu tempat atau One Stop Service (OSS) apakah telah dapat memperbaiki kualitas pelayanan terhadap perizinan. Seperti yang kita ketahui bahwa dengan adanya sistem OSS tersebut tidak serta merta masalah pelayanan perizinan yang berbelit-belit dan panjang akan terhapus. Hal tersebut dikarenakan beberapa alasan. 1)terkadang isntitusi-institusi yang digabungkan dalam dalam satu kantor bukan berarti pemangkasan birokrasi. Publik harus tetap melalui meja-meja yang “sama” dengan sbelumnya. Bedanya jika dulu “meja-meja” lokasinya berbeda sekarang “jadi satu kantor “. 2). Orang-orang yang berada dikantor pelayanan satu atap yang “mewakili” institusinya tidak memiliki kewenangan yang cukup untuk menetapkan keputusan yang mendesak dalam hal pelayanan. Sehingga lagi-lagi si “publik” harus menunggu atasan “pelayan” dikantor tersebut, dalam memebrikan keputusan. Sehingga kantor inipun gagal mencapai tujuan awal yaitu efisiensi (Indiahono,2006).
Dapat diambil sebuah kesimpulan bahwa OSS saja tanpa memaknainya malah akan menambah masalah bagi daerah terutama untuk Banyumas. KPPI sendiri adalah sebuah badan untuk meng-acc hal-hal yang telah dibuat oleh dinas atau badan lain.sebagai contoh (Suara Merdeka,2005) adalah pada tahun 2005 Pertumbuhan investasi di Banyumas beberapa tahun terakhir ini tergolong pesat. Pada tahun ini sampai Juni lalu, investasi di sektor perdagangan, jasa, dan properti dari investor lokal dan luar daerah yang bergulir Rp 64 miliar.
Angka itu dihitung berdasar pengajuan izin gangguan lingkungan ke Kantor Pelayanan Perizinan dan Investasi (KPPI) serta telah mengantongi SIUP dari Dinas Perdagangan dan Perindustrian serta Dinas Koperasi dan UKM. Dengan adanya pelayanan yang sangat banyak untuk mendirikan usaha seperti contoh di atas dalam hal ini berarti OSS belum bias maksimal mengingat beberapa pelayanan masih di urusi oleh dinas/kantor/lembaga lain selain KPPI.
Persoalan pun bukan hanya itu saja, melainkan masih banyak yang harus dibenahi karena untuk menjadi yang terbaik harus dimulai dari kita sendiri dalam hal ini inisiatif dari dalam lembaga. Komitmen dari KPPI sendiri menjadi sebuah makanan yang harus ditelan dan dicerna. Komitmen tersebut dapat dilihat dari kesesuaian antara peraturan dan kondisi lapangan. Banyak dari dinas/kantor/lembaga pemerintah yang mengindahkan hal tersebut. Akhirnya kepastian waktu penyelesaian dan biaya menjadi tidak jelas.
Hal seperti itu harus diantisipasi sejak dini mengingat rakyat masih membutuhkan pelayanan yang baik yang diberikan oleh pemerintah karena pemerintah memonopoli pelayaan yang menyangkut rakyat banyak. Komitmen dalam melayani telah berhasil dibuktikan oleh pemerintah Kabupaten Purbalingga yang mendapat sertifikasi ISO 9001:2000 yang merupakan manajemen mutu pelayanan (Suara Merdeka,2006). Dapatkah pemerintah Banyumas menerapkan sistem yang sama atau malah lebih hebat dari Purbalingga? Kita tunggu aksinya.
Sebuah alternative yang dapat dilakukan untuk berbenah bagi KPPI adalah penggunaan sebuah sistem yang menggunakan partisipasi masyarakat sehingga pelayanan akan berada pada dua arah. Antara pelanggan dan yang melayani. Dalam berbagai referensi sistem itu disebut Citizen Charter atau Service Charter.
Istilah Citizen Charter (CC)atau kontrak pelayanan pertama kali diperkenalkan oleh Osborne dan Plastrik (1997). Citizen Charter (CC) adalah standar pelayanan yang ditetapkan berdasarkan aspirasi dari pelanggan, dan birokrasi berjanji untuk memenuhinya. Citizen Charter (CC) merupakan sebuah pendekatan dalam meneyelenggarakan pelayanan publik yang menempatkan pengguna layanan atau pelanggan sebagai pusat perhatian. Dalam hal ini, kebutuhan dan kepentingan pengguna layanan harus menjadi pertimbangan utama dalam proses pelayanan (AG. Subarsono,2006)
Dengan kontrak pelayanan berarti ada sebuah komitmen antara pelanggan dan yang melayani. Dalam hal ini akan ada sebuah kesepakatan baik itu mengenai pelayanan, prosedur, waktu penyelesaian, maupun biaya yang ditanggung oleh pelanggan. Dengan demikian ada sebuah kesepahaman antara hak dan kewajiban dari masing-masing pihak. Sebagai contoh penerapan model sederhana dari Citizen Charter lihat kotak 1.
Kotak 1 Model Chitizen Charter

Kotak 1
Kontrak Pelayanan Akta Kelahiran
Di Pemerintahan Kota Yogyakarta

· Penyelesaian dan penerbitan akta kelahiran adalah 3 hari kerja, terhitung sejak diterimanya berkas persyaratan
· Biaya pelayanan akta kelahiran adalah Rp 10.000,- bagi WNI dan Rp 30.000,- bagi WNA
· Standar sapaan petugas kepada pengguna layanan adalah sebagai berikut.”selamat pagi/siang Bapak/Ibu, apa yang dapat kami bantu?”
· Standar respon petugas pelayanan dalam menerima telpon dari pengguna layanan adalah.” Selamat pagi/siang, apa yang dapat kami bantu?’
· Pengguna layanan dapat mengajukan keluhan, keberatan atau protes apabila pelayanan yang diterima tidak sesuai dengan ketentuan yang berlaku.
· Pengguna layanan akan mendapat jawaban resmi atas keluhan yang diajukan tersebut paling lambat dalam waktu 2 hari terhitung sejak keluhan diterima oleh petugas
· Setiap kesalahan atau catat pada produk pelayanan akta kelahiran yang diakibatkan kesalahan teknis dari pihak penyedia layanan , maka penyedia layanan akan memperbaharui produk tersebut tanpa memungut biaya lagi.

Sumber: leaflet Pemerintahan kota Yogyakarta bekerjasama dengan PSKK UGM dan The Foed Foundation,2003 dalam Agus Dwiyanto:2006)

Dengan adanya kontrak pelayanan yang disodorkan oleh pelayanan, maka ada sebuah ikatan untuk bisa lebih baik lagi dalam melakukan pelayanan kepada masyarakat karena paradigma pelayanan sekarang adalah berfokus pada warga negara. Namun perlu diketahui bahwa ada beberapa syarat untuk menggunakan sistem kontrak pelayanan (Indiahono, 2006):
1. kesepakatan dan komitmen internal institusi untuk memberikan pelayanan terbaik bagi warga negara. Sehingga visi kontrak pelayanan merupakan pemahaman bersama seluruh elemen institusi pelayanan dan bersama-sama pula mencapai visi tersebut
2. kontrak pelayanan dibuat dengan mempertimbangkan sumberdaya yang dimiliki institusi pelayanan
3. dalam merancang kontrak pelayanan sejauh mungkin melibatkan stakeholder yang berkaitan dengan jenis pelayanan yang diadakan
4. sosialisasi









Penutup

”sebuah akhir bukan berarti akan berakhir”
Didi Rasdi

Telah banyak disinggung bahwa pelayanan adalah sesuatu yang sakral dan sangat berpengaruh terhadap aktivitas setiap orang. Dengan demikian harus ada kejelasan antara orang yang melayani dan dilayani. Dalam iklim investasi di daerah, tentunya saat ini kita akan berjumpa dengan kantor yang melayani perizinan. Terutama di daerah Banyumas yang telah menjadi 10 besar kabupaten yang pro terhadap investasi. Namun tidak semua daerah yang telah baik dalam penerapan pelayanan perizinan dan investasi.
Di Banyumas sendiri perlu dilakukan beberapa alternatif untuk merubah pelayanan menjadi lebih baik. Tiga poin yang dapat dilaksanakan adalah:
1. perubahan paradigma dari para birokratnya, dimana paradigma :dilayani” untuk dapat diganti dengan ”melayani” karena pada hakekatnya pejabat publik adalah pelayan terhadap rakyat bukan sebaliknya.
2. sistem One Stop Service (OSS) yang telah berjalan di Banyumas setidaknya dikaji lebih dalam supaya peran dari KPPI selaku loket perizinan dapat strategis sehingga semua urusan dapat langsung menuju ke KPPI tidak berbelit-belit.
3. penerapan Citizen Charter di KPPI sehingga adanya kontrak antara pelayan dan yang dilayani. Dengan demikian setiap pihak tahu akan hak dan kewajiban yang ada dipundaknya.
Tentunya dalam tulisan ini hanya sebatas sebuah ide untuk membuat pelayanan menjadi lebih baik terutama dapat diterapkan di Banyumas-kota tercinta. Semoga bermanfaat.






DAFTAR PUSTAKA

Cheema, G. Shabbir and Dennis Rondinelli (ed).1983. Decentralization And Development: Policy Implementation In Developing Countries. Beverly Hills: Sage Publication
Deputi bidang polhankamnas.(tt). Pelayanan Publik Di Era Desentralisasi:Studi Tentang Variasi Cakupan Dan Peranan Pemerintah Daerah Dalam Pelayanan Publik. Artikel
Dwiyanto, Agus (ed). 2005. Mewujudkan Good Governance Melalui Pelayanan Publik. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press
Dwiyanto, Agus,dkk.2006. Reformasi Birokrasi Publik Di Indonesia. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.
Wibawa, Samodra dalam Agus Dwiyanto (ed).2006. Mewujudkan Good Governance Melalui Pelayanan Publik. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.
Indihono, Dwiyanto. 2006. Reformasi Birokrasi Amplop: Mungkinkah?. Yogyakarta: Gava Media
Nahadi, Bin dan Djoko Retnadi. 2006. Membangun Investasi Ala Thailand. Investor daily. Oktober 2006
Ratminto dan Atik Septi Winarsih.2006. Manajemen Pelayanan.Yogyakarta: Pustaka Pelajar

Singgih Wiranto. Reformasi birokrasi dalam pelayanan publik. 26 Nopember 2006
www.suaramerdeka-online.com tanggal 2 Maret 2006,akses tanggal 24 Maret 2008.
www.suaramerdeka-online.com tanggal 6 Juli 2005 akses tanggal 24 Maret 2008
www.koransindo.co.id tanggal 26 Juni 2007 akses tanggal 24 Maret 2008