Rabu, 02 April 2008

Sebuah kado pemikiran untuk KPPI

Pendahuluan

Suatu ketika seorang Bapak setengah baya dari pelosok desa datang ke ibu kota kecamatan untuk mengurus KTP yang akan digunakan untuk mendaftar haji. Tapi, apa yang ia dapatkan? Ia harus sabar menunggu di kantor kecamatan sejak jam delapan hingga jam sepuluh pagi, karena orang yang terbisaa menangani urusan tersebut belum datang. Detik demi detik ia “istiqamah” menanti, akhirnya penantiannya berakhir, seorang datang kepadanya dan memberitahukan bahwa orang yang bisaa menangani pembuatan KTP hari itu berhalangan hadir. Besok pagi, ia harus datang lagi. “this is a key sentences” ujar Bapak itu dalam hati.
Indiahono, dalam Reformasi Birokrasi Amplop: mungkinkan?

Sebuah bangsa pasti berkembang, baik dalam hal intern sebuah bangsa maupun berhubungan dengan kondisi ekstern bangsa tersebut. Perkembangan sebuah bangsa pun dialami oleh bangsa yang telah 62 tahun merdeka, Indonesia. Indonesia mengalami pasang surut perkembangan dan yang paling mendasar adalah setelah jatuhnya sebuah peradaban tak beradab bernama orde baru. Lahirnya orde reformasi setelah orde baru kontan membuat bangsa yang tadinya pasif untuk cenderung aktif dalam memperbaiki apa-apa yang salah dan kurang baik. Salah satu hal sentral yang dirubah adalah pada sistem pemerintahan.
Sistem pemerintahan yang dianut oleh orde baru adalah lebih bersifat sentralistik dimana kendali pusat atau control center berada pada pusat pemerintahan yaitu Jakarta. Dengan kondisi demikian adanya sebuah keterkengkangan dari daerah untuk dapat berinteraksi sendiri mengatur daerahnya. Akhirnya orde reformasi dapat merubah hal tersebut dengan ditandainya Undang-Undang No. 22 tahun 1999. Sistem yang semula sentralistik kemudian berubah menajdi desentralisasi. Mulai Januari 2001, melalui UU No.22 dan 25 tahun 1999 mengubah dirinya menjadi negara yang desentralis, yang memberikan kewenangan yang besar kepada daerah/kota serta provinsi untuk mengelola kebutuhan dan kepentingan mereka (Samodra Wibawa,2006).
Desentralisasi atau orang lebih mengenal otonomi daerah menurut Rondinelli dan Cheema (1983) adalah perpindahan kewenangan atau pembagian kekuasaan dalam perencanaan pemerintah serta manajemen dan pengambilan keputusan dari tingkat nasional ke tingkat daerah. Dengan demikian adanya pembagian sebagian urusan dari pusat ke daerah. Namun bukan secara mutlak karena urusan yang menyangkut masalah bidang politik luar negeri, pertahanan keamanan, peradilan,moneter dan fiskal, agama, serta kewenangan bidang lain diserahkan kepada pusat (Deputi Bidang Polhankam Bappenas).
Dengan diberlakukannya UU No.22 tahun 1999 tidak serta merta berdampak positif, namun juga berdampak negatif sehingga dibuatlah peraturan yang baru yaitu UU No.32 tahun 2004 tentang otonomi daerah. Peraturan yang baru ini mencangkup hal-hal yang luas sekali tentang daerah. Tidak terkecuali hal-hal yang berhubungan dengan pelayanan publik. Hal tersebut dikarenakan tugas dari pemerintah adalah melayani kepentingan rakyat. Bukan hanya semata-mata adalah abdi dalem dari sang presiden seperti jaman orde baru.
Pelayanan publik sendiri didefinisikan secara teoritis menurut Dwiyanto (2005 (ed), 2005: 141-145) adalah sebagai serangkaian aktivitas yang dilakukan oleh birokrasi publik untuk memenuhi kebutuhan warga pengguna. Pengguna atau pelanggan yang dimaksud menurutnya di sini adalah warga negara yang membutuhkan pelayanan publik, seperti dalam pembuatan Kartu Tanda Penduduk (KTP), Izin Mendirikan Bangunan (IMB) dan sebagainya.
Dengan pengertian tersebut telah jelas bahwa pemerintah disamping mengatur urusan yang berhubungan dengan ekonomi, harus pula mementingkan pelayanan publik. Pelayanan publik adalah jembatan antara birokrasi dan warga negaranya. Namun tidak seperti itu keadaan yang sebenarnya terjadi dilapangan dimana pelayanan yang diberikan tidak berpihak pada publik melainkan pada birokrasi. Aparat birokrasi memang sangat diharapkan memiliki jiwa pengabdian dan pelayanan kepada masyarakat. Dan yang diandalkan mampu mengubah citra "minta dilayani", menjadi "melayani" (Deddy Mulyadi,2007) . Yang terjadi dilapangan kita sering mendengar istilah birokrasi di Indonesia yang berbelit-beli, lama, dan dengan proses yang panjang. Sebagai contoh pelayanan yang diberikan oleh BKCKB kabupaten Banyumas tentang pembuatan Kartu Tanda Penduduk (KTP). Salah seorang warga mengakui bahwa untuk membuat KTP beliau menunggu sampai 3 bulan (Nizar,dkk, tahun 2006). Sehingga patutlah kita sebut bahwa birokrasi masih minta dilayani ketimbang melayani.
Pelayanan KTP saja memakan waktu sampai 3 bulan di Banyumas. Bagaimana dengan pelayanan yang diberikan pada sektor lain? Sektor investasi yang merupakan pilar bupati baru dalam membangun pemerintahan apakah aparat telah siap dalam menghadapi berbagai bentuk investor terutama yang berkaitan dengan pelayanan sektor investasi di Banyumas? Mengingat pada tahun 2007 saja Banyumas masuk dalam kategori daerah yang pro terhadap investasi (Sindo,30 Juni 2007).
Bukan hanya itu, banyumas adalah sebuah daerah yang menerapkan sistem perizinan satu atap yang berujung pada pembentukan Kantor Palayanan Perizinan dan Investasi (KPPI) pada tanggal 17 desember 2002 dengan dikeluarkannya Perda Nomor. 10 tahun 2002. Pada tahun 2006 Banyumas melalui investasinya telah mencatat kenaikan Rp181,124 miliar lebih. ”Jumlah ini mengalami kenaikan sebesar 74,7% dibandingkan tahun 2005,”katanya. Sedang dilihat dari jumlah pengusaha, juga mengalami peningkatan. Tercatat pada 2006 mengalami kenaikan 56,18% atau terdapat 380 perusahaan. Surat izin yang dikeluarkan juga bertambah menjadi 3.128 buah atau naik 88,43% (Sindo, 30 Juni 2007). Dengan adanya hal tersebut apakah sudah benar bahwa pelayanan sektor investasi telah efektif diterapkan di Banyumas? Lalu seperti apakah Alternatif yang bisa dilakukan untuk meningkatkan pelayanan publik terutama sektor investasi di Banyumas?






Pembahasan

”Waktu itu saya mengurus IMB ke dinas tata kota. Pas di sana, saya bilang sama stafnya supaya IMB saya diberesin. Pokoknya kalau masalah duit tinggal bilang aja berapa. Sore-sore si petugas datang ke rumah, katanya habisnya Rp 250.000,00. besok paginya saya cek ke kantor pemda, pengen tahu berapa sebenarnya habisnya. Kata orang di sana sih biaya resminya Cuma Rp 155.000,00. makanya pas si staf itu datang lagi ke rumah, saya kasih aja Rp.205.000,00. itu sudah termasuk uang transfor Rp 50.000,00. pertamanya sih petugas sempak nolak, tapi terakhirnya mau juga. Yah, saya mau ngomong apa lagi , memang gitu koq kalau urusannya mau lancar”.
Agus Dwiyanto,dkk dalam Reformasi birokrasi publik

Pelayanan publik diibaratkan sebagai sebuah proses, dimana ada orang yang dilayani, melayani, dan jenis dari pelayanan yang diberikan. Sehingga kiranya pelayanan publik memuat hal-hal yang subtansial yang berbeda dengan pelayanan yang diberikan oleh swasta. Pelayanan publik adalah pelayanan yang diberikan oleh pemerintah dalam rangka memenuhi segala kebutuhan masyarakat, sehingga dapat dibedakan dengan pelayanan yang dilakukan oleh swasta (Ratminto, 2006).
Sebagai contoh adalah pembuatan Surat Izin Mengemudi (SIM) yang diberikan oleh pihak kepolisian dan dimonopoli oleh satu pihak. SIM tidak boleh dikeluarkan oleh lembaga lain termasuk swasta. Sehingga pelayanan yang seperti itu dengan ciri dimonopoli oleh pemerintah disebut pelayanan publik.
Namun, dalam perjalanannya ternyata pelayanan publik menemui berbagai macam rintangan yang menghadang. Salah satunya adalah paradigma birokrasi yang cenderung untuk minta dilayani ketimbang melayani. Hal tersebut mengakibatkan berbagai persoalan (Singgih Wiranto,2006) seperti berbelit-belit, tidak efektif dan efisien, sulit dipahami, sulit dilaksanakan, tidak akurat, tidak transparan, tidak adil, birokratis, tidak profesional, tidak akuntabel, keterbatasan teknologi, keterbatasan informasi, kurangnya kepastian hukum, KKN, biaya tinggi, polarisasi politis, sentralistik, tidak adanya standar baku dan lemahnya kontrol masyarakat. Sedangkan telah terjadi pergeseran paradigma pelayanan publik dimana rakyat atau warga Negara adalah focus dari pelayanan.
Pelayanan publik sendiri terdiri dari berbagai bentuk pelayanan yang diberikan oleh Negara. Pelayanan publik dapat berupa pelayanan di bidang barang dan jasa (Ratminto,2006). Pelayanan dibidang jasa seperti penyediaan bahan baker minyak yang dilakukan oleh Pertamina, dan beras yang diurus oleh Badan Usaha Logistik (BULOG). Sedangkan dalam porsi jasa dapat berupa jasa perizinan dan investasi yang sekarang ini sedang marak untuk dikaji dan diperbincangkan oleh berbagai kalangan, baik itu akademisi maupun praktisi.
Kenapa investasi bisa semakin marak? Mengingat Indonesia adalah Negara kaya namun kurang mendapatkan tempat dihati para investor. Hal tersebut terbukti dengan peringkat Indonesia yang masih diatas seratus dalam kategori pro investasi karena proses yang panjang. Lihat tabel 1.
Tabel 1 Peringkat Negara yang mudah untuk dimasuki investor

No Negara Peringkat
1 Selandia Baru 1
2 Singapura 2
3 AS 3
4 Hongkong 7
5 Jepang 10
6 Thailand 20
7 Malaysia 21
8 RRC 91
9 Vietnam 99
10 Filipina 113
11 Indonesia 115
Sumber: Jawa Pos, 3 Maret 2006
Dari data diperoleh sebuah gambaran investasi Indonesia yang masih jauh dari kategori baik. Dalam hal investasi kita tertinggal jauh dengan Vietnam-sebuah Negara yang baru melek dari penjajah. Bahkan dengan tetangga Negara kita sendiri yaitu Malaysia dan Singapura. Hal tersebut dikarenakan perizinan kita yang lama, proses yang lama, berbelit-belit dan mahal. Bandingkan dengan pelayanan perizinan yang diberikan oleh pemerintahan Thailand. Lihat tabel 2.
Tabel 2 Perandingan Prosedur dan waktu pengurusan investasi antara Indonesia dan Thailand

No. Deskripsi Indonesia Thailand
1. Izin bisnis baru 12 prosedur/97 hari
19 prosedur/224 hari
52 prosedur/576 hari
10 prosedur/30 hari
34 prosedur/570 har
Pengurusan lisensi
Pembayaran pajak
Dokumen impor
Penegakkan kontrak
2.
3.
4.
5. 8 prosedur/33 hari
9 prosedur/127 hari
46 prosedur/104 hari
12 prosedur/22 hari
26 prosedur/425 hari
Sumber: Bank dunia dalam Nahadi dan Djoko
Dengan demikian pantaslah jika Indonesia tertinggal oleh negara-negara berkembang yang ada di wilayah Asia Tenggara. Hal tersebut berdampak pada iklim investasi di daerah dimana pelayanan yang diberikan masih jauh dari harapan. Sebagai contoh adalah Banyumas. Salah satu wilayah yang pro investasi. Di bawah arahan Kantor Pelayanan Perizinan dan Investasi (KPPI) wilayah Banyumas masuk dalam kategori daerah yang pro terhadap investasi, terbukti dengan masuknya Banyumas menjadi 10 besar daerah yang pro investasi. KPPI sendiri terbentuk karena dikeluarkannya Perda No.10 tahun 2002. Dengan tujuan mewujudkan pelayanan perizinan dan investasi yang efektif, efisien, wajar dan rasional sehingga dapat diwujudkan pelayanan umum yang dilakukan secara terpadu pada satu tempat/lokasi untuk kepentingan pengurusan beberapa perizinan.
Dengan diberlakukannya pelayanan satu tempat atau One Stop Service (OSS) apakah telah dapat memperbaiki kualitas pelayanan terhadap perizinan. Seperti yang kita ketahui bahwa dengan adanya sistem OSS tersebut tidak serta merta masalah pelayanan perizinan yang berbelit-belit dan panjang akan terhapus. Hal tersebut dikarenakan beberapa alasan. 1)terkadang isntitusi-institusi yang digabungkan dalam dalam satu kantor bukan berarti pemangkasan birokrasi. Publik harus tetap melalui meja-meja yang “sama” dengan sbelumnya. Bedanya jika dulu “meja-meja” lokasinya berbeda sekarang “jadi satu kantor “. 2). Orang-orang yang berada dikantor pelayanan satu atap yang “mewakili” institusinya tidak memiliki kewenangan yang cukup untuk menetapkan keputusan yang mendesak dalam hal pelayanan. Sehingga lagi-lagi si “publik” harus menunggu atasan “pelayan” dikantor tersebut, dalam memebrikan keputusan. Sehingga kantor inipun gagal mencapai tujuan awal yaitu efisiensi (Indiahono,2006).
Dapat diambil sebuah kesimpulan bahwa OSS saja tanpa memaknainya malah akan menambah masalah bagi daerah terutama untuk Banyumas. KPPI sendiri adalah sebuah badan untuk meng-acc hal-hal yang telah dibuat oleh dinas atau badan lain.sebagai contoh (Suara Merdeka,2005) adalah pada tahun 2005 Pertumbuhan investasi di Banyumas beberapa tahun terakhir ini tergolong pesat. Pada tahun ini sampai Juni lalu, investasi di sektor perdagangan, jasa, dan properti dari investor lokal dan luar daerah yang bergulir Rp 64 miliar.
Angka itu dihitung berdasar pengajuan izin gangguan lingkungan ke Kantor Pelayanan Perizinan dan Investasi (KPPI) serta telah mengantongi SIUP dari Dinas Perdagangan dan Perindustrian serta Dinas Koperasi dan UKM. Dengan adanya pelayanan yang sangat banyak untuk mendirikan usaha seperti contoh di atas dalam hal ini berarti OSS belum bias maksimal mengingat beberapa pelayanan masih di urusi oleh dinas/kantor/lembaga lain selain KPPI.
Persoalan pun bukan hanya itu saja, melainkan masih banyak yang harus dibenahi karena untuk menjadi yang terbaik harus dimulai dari kita sendiri dalam hal ini inisiatif dari dalam lembaga. Komitmen dari KPPI sendiri menjadi sebuah makanan yang harus ditelan dan dicerna. Komitmen tersebut dapat dilihat dari kesesuaian antara peraturan dan kondisi lapangan. Banyak dari dinas/kantor/lembaga pemerintah yang mengindahkan hal tersebut. Akhirnya kepastian waktu penyelesaian dan biaya menjadi tidak jelas.
Hal seperti itu harus diantisipasi sejak dini mengingat rakyat masih membutuhkan pelayanan yang baik yang diberikan oleh pemerintah karena pemerintah memonopoli pelayaan yang menyangkut rakyat banyak. Komitmen dalam melayani telah berhasil dibuktikan oleh pemerintah Kabupaten Purbalingga yang mendapat sertifikasi ISO 9001:2000 yang merupakan manajemen mutu pelayanan (Suara Merdeka,2006). Dapatkah pemerintah Banyumas menerapkan sistem yang sama atau malah lebih hebat dari Purbalingga? Kita tunggu aksinya.
Sebuah alternative yang dapat dilakukan untuk berbenah bagi KPPI adalah penggunaan sebuah sistem yang menggunakan partisipasi masyarakat sehingga pelayanan akan berada pada dua arah. Antara pelanggan dan yang melayani. Dalam berbagai referensi sistem itu disebut Citizen Charter atau Service Charter.
Istilah Citizen Charter (CC)atau kontrak pelayanan pertama kali diperkenalkan oleh Osborne dan Plastrik (1997). Citizen Charter (CC) adalah standar pelayanan yang ditetapkan berdasarkan aspirasi dari pelanggan, dan birokrasi berjanji untuk memenuhinya. Citizen Charter (CC) merupakan sebuah pendekatan dalam meneyelenggarakan pelayanan publik yang menempatkan pengguna layanan atau pelanggan sebagai pusat perhatian. Dalam hal ini, kebutuhan dan kepentingan pengguna layanan harus menjadi pertimbangan utama dalam proses pelayanan (AG. Subarsono,2006)
Dengan kontrak pelayanan berarti ada sebuah komitmen antara pelanggan dan yang melayani. Dalam hal ini akan ada sebuah kesepakatan baik itu mengenai pelayanan, prosedur, waktu penyelesaian, maupun biaya yang ditanggung oleh pelanggan. Dengan demikian ada sebuah kesepahaman antara hak dan kewajiban dari masing-masing pihak. Sebagai contoh penerapan model sederhana dari Citizen Charter lihat kotak 1.
Kotak 1 Model Chitizen Charter

Kotak 1
Kontrak Pelayanan Akta Kelahiran
Di Pemerintahan Kota Yogyakarta

· Penyelesaian dan penerbitan akta kelahiran adalah 3 hari kerja, terhitung sejak diterimanya berkas persyaratan
· Biaya pelayanan akta kelahiran adalah Rp 10.000,- bagi WNI dan Rp 30.000,- bagi WNA
· Standar sapaan petugas kepada pengguna layanan adalah sebagai berikut.”selamat pagi/siang Bapak/Ibu, apa yang dapat kami bantu?”
· Standar respon petugas pelayanan dalam menerima telpon dari pengguna layanan adalah.” Selamat pagi/siang, apa yang dapat kami bantu?’
· Pengguna layanan dapat mengajukan keluhan, keberatan atau protes apabila pelayanan yang diterima tidak sesuai dengan ketentuan yang berlaku.
· Pengguna layanan akan mendapat jawaban resmi atas keluhan yang diajukan tersebut paling lambat dalam waktu 2 hari terhitung sejak keluhan diterima oleh petugas
· Setiap kesalahan atau catat pada produk pelayanan akta kelahiran yang diakibatkan kesalahan teknis dari pihak penyedia layanan , maka penyedia layanan akan memperbaharui produk tersebut tanpa memungut biaya lagi.

Sumber: leaflet Pemerintahan kota Yogyakarta bekerjasama dengan PSKK UGM dan The Foed Foundation,2003 dalam Agus Dwiyanto:2006)

Dengan adanya kontrak pelayanan yang disodorkan oleh pelayanan, maka ada sebuah ikatan untuk bisa lebih baik lagi dalam melakukan pelayanan kepada masyarakat karena paradigma pelayanan sekarang adalah berfokus pada warga negara. Namun perlu diketahui bahwa ada beberapa syarat untuk menggunakan sistem kontrak pelayanan (Indiahono, 2006):
1. kesepakatan dan komitmen internal institusi untuk memberikan pelayanan terbaik bagi warga negara. Sehingga visi kontrak pelayanan merupakan pemahaman bersama seluruh elemen institusi pelayanan dan bersama-sama pula mencapai visi tersebut
2. kontrak pelayanan dibuat dengan mempertimbangkan sumberdaya yang dimiliki institusi pelayanan
3. dalam merancang kontrak pelayanan sejauh mungkin melibatkan stakeholder yang berkaitan dengan jenis pelayanan yang diadakan
4. sosialisasi









Penutup

”sebuah akhir bukan berarti akan berakhir”
Didi Rasdi

Telah banyak disinggung bahwa pelayanan adalah sesuatu yang sakral dan sangat berpengaruh terhadap aktivitas setiap orang. Dengan demikian harus ada kejelasan antara orang yang melayani dan dilayani. Dalam iklim investasi di daerah, tentunya saat ini kita akan berjumpa dengan kantor yang melayani perizinan. Terutama di daerah Banyumas yang telah menjadi 10 besar kabupaten yang pro terhadap investasi. Namun tidak semua daerah yang telah baik dalam penerapan pelayanan perizinan dan investasi.
Di Banyumas sendiri perlu dilakukan beberapa alternatif untuk merubah pelayanan menjadi lebih baik. Tiga poin yang dapat dilaksanakan adalah:
1. perubahan paradigma dari para birokratnya, dimana paradigma :dilayani” untuk dapat diganti dengan ”melayani” karena pada hakekatnya pejabat publik adalah pelayan terhadap rakyat bukan sebaliknya.
2. sistem One Stop Service (OSS) yang telah berjalan di Banyumas setidaknya dikaji lebih dalam supaya peran dari KPPI selaku loket perizinan dapat strategis sehingga semua urusan dapat langsung menuju ke KPPI tidak berbelit-belit.
3. penerapan Citizen Charter di KPPI sehingga adanya kontrak antara pelayan dan yang dilayani. Dengan demikian setiap pihak tahu akan hak dan kewajiban yang ada dipundaknya.
Tentunya dalam tulisan ini hanya sebatas sebuah ide untuk membuat pelayanan menjadi lebih baik terutama dapat diterapkan di Banyumas-kota tercinta. Semoga bermanfaat.






DAFTAR PUSTAKA

Cheema, G. Shabbir and Dennis Rondinelli (ed).1983. Decentralization And Development: Policy Implementation In Developing Countries. Beverly Hills: Sage Publication
Deputi bidang polhankamnas.(tt). Pelayanan Publik Di Era Desentralisasi:Studi Tentang Variasi Cakupan Dan Peranan Pemerintah Daerah Dalam Pelayanan Publik. Artikel
Dwiyanto, Agus (ed). 2005. Mewujudkan Good Governance Melalui Pelayanan Publik. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press
Dwiyanto, Agus,dkk.2006. Reformasi Birokrasi Publik Di Indonesia. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.
Wibawa, Samodra dalam Agus Dwiyanto (ed).2006. Mewujudkan Good Governance Melalui Pelayanan Publik. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.
Indihono, Dwiyanto. 2006. Reformasi Birokrasi Amplop: Mungkinkah?. Yogyakarta: Gava Media
Nahadi, Bin dan Djoko Retnadi. 2006. Membangun Investasi Ala Thailand. Investor daily. Oktober 2006
Ratminto dan Atik Septi Winarsih.2006. Manajemen Pelayanan.Yogyakarta: Pustaka Pelajar

Singgih Wiranto. Reformasi birokrasi dalam pelayanan publik. 26 Nopember 2006
www.suaramerdeka-online.com tanggal 2 Maret 2006,akses tanggal 24 Maret 2008.
www.suaramerdeka-online.com tanggal 6 Juli 2005 akses tanggal 24 Maret 2008
www.koransindo.co.id tanggal 26 Juni 2007 akses tanggal 24 Maret 2008

Tidak ada komentar: